Sabtu, 19 Oktober 2024

Breaking News

  • Polres Rohul Bagikan Ratusan Nasi Kotak Di Masjid Sampaikan Pesan Pilkada Damai   ●   
  • Mengenal Polio, Virus Melumpuhkan yang Menyerang Balita dan Vaksinnya   ●   
  • AKD Belum Terbentuk, Fraksi Golkar DPRD Pekanbaru Terbuka Terima Aspirasi Masyarakat Berbagai Dapil   ●   
  • Pemko Pekanbaru Pacu Pendapatan Pajak Daerah Jelang Penutupan Tahn 2024   ●   
  • PHR Gelar Pasar Murah, Masyarakat Terbantu   ●   
DPR Muda Terkait Dinasti Politik, Pengamat Sebut Simbol Kemunduran Demokrasi
Senin 07 Oktober 2024, 15:39 WIB

JAKARTA (Tabloidrakyat) - Banyaknya politisi muda yang melenggang ke Senayan tidak otomatis menjadi sinyal positif bagi kualitas demokrasi Indonesia. Pasalnya, sebagian besar anak muda yang lolos punya ikatan dengan dinasti politik.

Anggota DPR termuda, Annisa Maharani Mahesa yang berusia 23 tahun misalnya, merupakan Putri Alm Politikus Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa. Sementara Larasati Moriska, anggota DPD termuda merupakan anak dari Ketua DPRD Kabupaten Nunukan 2009-2014 Nardi Azis dan ibunya Asni Hafid anggota DPD 2019-2024.

Sementara Pinka Haprani yang berusia 25 tahun adalah Putri Ketua DPR RI Puan Maharani. Kemudian Rizki Aulia Rahman Natakusumah yang berusia 29 tahun, anak dari Anggota DPR RI 2019-2024 Dimyati Natakusumah.

Ada juga Ravindra Airlangga yang berusia 33. Dia anak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, yang juga mantan Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Sementara Kaisar Kiasa Kasih Said Putra yang usia 30 tahun, anak anggota DPR RI Said Abdullah.

Ada juga Putri Zulkifli Hasan yang berusia 36 tahun, dia anak kandung dari Menteri Perdagangan RI sekaligus Ketum PAN Zulkifli Hasan. Selanjutnya Prananda Surya Paloh, politisi berusia 31 tahun merupakan anak kandung Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh. Di luar itu, masih banyak wakil rakyat muda yang punya hubungan keluarga dengan elite nasional.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, dengan fakta itu, banyaknya anak muda yang lolos bukan sebuah prestasi. Sebaliknya, ini menjadi ironi bagi demokrasi Indonesia. “Kalau bicara demokrasi, ya ini mundur,” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin.

Dalam demokrasi yang baik, lanjut dia, semestinya jabatan publik diisi melalui sistem seleksi yang baik. Di mana sosok yang punya kualitas, disodorkan dalam pemilu untuk dipilih oleh publik.

Namun dalam praktiknya di Indonesia, tokoh yang disodorkan sudah di-setting sedemikian rupa untuk mengakomodir kepentingan elite tertentu. Oleh karenanya, baginya demokrasi di Indonesia saat ini baru sebatas prosedural. Sementara secara substansial masih jauh dari harapan.

“Orang yang punya uang, kuasa, jaringan, menunggangi demokrasi sebagai alat untuk keluarga, anak menjadi pejabat publik,” imbuhnya.

Di sisi lain, calon yang di endorse oleh orang tua atau keluarga, jelas mendapatkan keuntungan atas kekuasaan politik dan ekonomi. Sehingga punya akses yang memadai untuk memenangkan kontestasi.

Jika tidak dievaluasi, Ujang berkeyakinan ke depan akan semakin sulit untuk orang biasa untuk menjadi pejabat publik. “Situasinya tidak memberikan pilihan pada warga negara lain yang hebat, berprestasi tapi ga punya uang,” ungkapnya.

Dia juga mendesak elite politik untuk punya etika dalam berpolitik. Semestinya, elite harus bisa menunjukkan kapasitas dan kualitas anaknya terlebih dahulu. “Jangan karena anaknya A,B,C maju lalu dimenangkan untuk jadi,” kata akademisi Universitas Al-Azhar itu. (far/jpg)

Sumber: Riaupos.com




Untuk saran dan pemberian informasi kepada tabloidrakyat.com, silakan kontak ke email: tabloidrakyat@yahoo.com


Komentar Anda


Copyright © 2023 Tabloidrakyat.com - All Rights Reserved
Scroll to top